top of page
Search

ULASAN BUKU | Filsafah Kebahagiaan oleh Azizie Nordin

“Orang bijak bicara penuh makna, orang bodoh bicara tanpa makna”


Berbicara tentang kebahagiaan, ada yang menganggap kebahagiaan itu muncul dari

keinginan, fikiran, emosi, dan kewangan. Di bahagian muka, yang cukup padat, brillian, dan

lunak, sosok Fahruddin mencoretkan empat filsuf besar, yang menjadi sang ‘pahlawan akal’,

dalamm membahaskan kebahagiaan, yakni Plato, Al-Farabi, Al-Ghazali, dan Ki Ageng

Suryomentaram.


Risalah yang usai saya cermati ini, begitu mudah untuk difahami ketika menerokainya,

disebabkan bahasa yang digunakan begitu lugas dan hayati. Dengan itu, bagi yang ingin

mengetahui apa itu filsafat kebahagiaan, bolehlah menjadi rujukan.


Secara esensi, risalah ini disusun dengan empat (4) sang filsuf utama yang menjadi tulang

belakang pembahasannya;


i. Plato

Asal muasalnya nama sang filsuf, yakni Plato adalah Aristocles. Dalam bahasa

Yunani, ia dikenali sebagai yang ‘terpilih’. Sang filsuf ini dipanggil Plato, disebabkan

bahunya yang lebar. Pemikiran Plato jika kita terokai, pada dasarnya adalah

esensialisme. Hakikat manusia itu boleh ditelusuri melalui jiwanya. Bagi sosok Plato,

jiwa yang mengerakkan dirinya bahkan dimanifestasikan melalui badan. Dengan itu,

sosok Plato menjadikan empat (4) pilar dalam jiwa, yakni Epithumia, Thumos,

Logistikon, dan Eros.


Epithumia (Keinginan)


Merujuk keinginana fizikal dan nafsu yang sering kali tidak terkawal. Epithumia

melibatkan makanan, minuman dan seks. Plato beranggapan bahagian paling terendah

dan perlu dikawal untuk memastikan keseimbangan jiwa. Contohnya, seorang

individu yang selalu membeli barang-barang mewah tanpa memikirakan keperluan

sebenar. Mereka ini pada dasarnya menunjukkan Epithumia yang berlebihan.

Keingi yang paling tinggi dan berkaitan dengan pemikiran rasional dan

kebijaksanaan sekaligus membantu individu membuat keputusan dengan yang baik.

Contoh, seorang pelajar yang menangguhkan hiburan untuk belajar bagi menghadapi

peperiksaan, menunjukkan penggunaan ‘logistikon’. Secara sederhana, dia lebih

mengutamakan pelajaran demi masa hadapan.


Eros (Cinta)


Eros adalah dorongan untuk mengejar kebaikan, kecantikan dan pengetahuan. Ini juga

menunjukkan ia bukan hanya cinta romantik, tetapi mencakup cinta yang lebih tinggi

kepada kebenaran dan kebijaksanaan. Misalnya, seorang sasterawan yang terinspirasi

untuk menulis karya yang mendalam tentang kehidupan dan keindahan menunjukkan

‘eros’.


ii. Ibn Al-Farabi


Bagi sang filsuf ini, kenikmatan merupakan level awal untuk mendapat kebahagiaan.

Masakan tidak, kenikmatan itu sifatnya berubah, kebahagiaan pula adalah yang abadi.

Dalam masa yang sama juga, bagi sosok Al-Farabi bersyukur juga adalah salah satu

punca untuk bahagia dan semua hal yang bahagian adalah satu punca untuk bahagia

sekaligus mengkehendaki dalam praktik hidup.


Kebahagiaan bagi sosok Al-Farabi adalah, menguasai ilmu pengetahuan. Hal ini

kerana semakin luas wawasan seseorang, semakin besar peluang dia untuk bahagia.

Semakin sempit wawasan seseorang, semakin kecil kemungkinan untuk dia bahagia.

Justeru, pengetahuna itu harus ke Tuhan, jika ingin bahagia.


iii. Al-Ghazali


Sang Hujjatul Islam Al-Ghazali, dalam pemikirannya untuk kebahagiaan adalah

kenikmatan duniawi dan kenikmata ukhrawi dalam kitab Mizan al-Amal. Dalam

surah Al-Fajr dikatakan ya ayyatuhanal-nafs al-muthamainmah (QS 89:27). Kalau

maqam jiwamu belum sampai muthaminah anda tidak akan menjumpai kenikmatan

ukhrawi. Jika ditilik untuk menjumpai kenikmatan tersebut, kenalah melalui akal.

Selain itu, mengenal dirimu sendiri dan menjaga kemarahan dan syahwat adalah kunci

kebahagiaan. Bagi menjaga kemarahan dan syahwat, kita hendaklah berjihad terhadap

tiga belas (13) musuh batiniah, yakni egoisme,arogan, angku, keakuan, tamak,

bernafsu, intoleran, marah, bohong, curang, gosip, merasa benar sendiri, dan

memfitnah.


Apa yang menarik dalam pemikiran sang filsuf ini, adalah bagaimana ingin mendapat

nikmat kebahagiaan adalah melalui akal, peribadi, keberanian, dan adil. Jika

dipersudutkan melalui akal, dapatlah dikatakan bahawa akal adalah sebahagian dari

jiwa. Akal ini mendapat nikmat kalau mendapat ilmu. Maka, sering-sering lah

memberi akal mu dengan ilmu. Bagi yang kedua, yakni peribadi, buatlah nikmat

dengan ‘wara’. Ertinya, di sini adalah menjaga diri sendiri. Janganlah melakukan hal

yang haram, maksiat dan dan syubhat.


iv. Ki Ageng Suryamentaram


Konsep kebahagiaan sosok Suryamentaram adalah ‘Kawruh Begja’. Begja di sini

bukan bermaksud untung, tetapi adalah hakikat bahagia. Untuk mencapai kebahagiaan

perlu ada enam (6) ‘S’, yakni sakbutuhe (sekadar kebutuhan), sakperlune (sekadar

keperluan), sakcukupe (sekadar kecukupan), sakbenere (sekadar kebenaran),

sakmesthine (sekadar kepantasan/keharusan), dan sakepenake (sekadar kenikmatan).

Maksud di sini adalah, hidup jangan berlebihan dan jangan kekurangan. Justeru, bagi

sosok Suryamentaram dalam kehidupan kita, tidak boleh rasional logic dan rasional

egoistis. Hal ini disebabkan, jika orang lain mempunyai pandangan yang lain,

terimalah itu dikira sebagai akomodatif.


Kawruh Jiwa (mengetahui diri sendiri) juga merupakan salah satu ‘inti-inti’ dan

‘bumbu-bumbu’ kunci kebahagiaan. Pada dasarnya, kita hendaklah memahami diri

sendiri terlebih dahulu, barulah mengerti orang lain dan memahami lingkugannya.

Jika dicermati, sosok Suraymentaram bernada, ‘barang siapa mempelajari dirinya

sendiri, maka dia sedang mempelajari sosok manusia dan seluruh kemanusiaan.


Akhirul kalam, pada hemat saya buku ini bagus untuk dijadikan bahan pembacaan dan

menjadi rujukan tentang kebahagiaan.


Wallhualam


Rujukan


FILSAFAT KEBAHAGIAAN: Dari Plato, via Al-Farabi dan Al-Ghazali, Sampai Ki Ageng

Suryomentaram, Fahruddin Faiz, 2023

60 views0 comments

Comments


bottom of page